Amirul Mukminin Harun Ar Rasyid
Sang Pembangun Peradaban Islam
Sang Pembangun Peradaban Islam
Kelembutan dalam Berdakwah
Suatu hari, seorang ustadz datang ke istana Amirul Mukminin Harun al-Rasyid. Ia datang untuk menasihati Harun al-Rasyid. Di hadapan Harun al-Rasyid, ustadz itu mengucapkan kata-kata yang kasar dan pedas.
Ustadz itu berkata, ‘Wahai Harun al-Rasyid, selama ini Anda sudah melakukan begini dan begitu’. Ia menyebutkan keburukan-keburukan Harun al-Rasyid.
Setelah selesai mendengarkan perkataan ustadz itu, Harun al-Rasyid menjawab, ‘Duhai saudaraku, apakah Anda lebih baik dari Musa alayhissalam?’
Ustadz itu menjawab, ‘Tentu saja, tidak’.
Harun al-Rasyid kembali bertanya, ‘Apakah saya lebih jahat dari Firaun?’
Ustadz itu menjawab, ‘Tentu saja, tidak’.
Harun al-Rasyid berkata, ‘Kalau begitu, selama Anda tidak lebih mulia dibanding Musa alayhissalam dan saya tidak lebih jahat dibanding Firaun, maka tidakkah Anda perhatikan bahwa Allah swt berfirman kepada Musa, ‘Hendaknya kalian berdua (yakni Musa dan Harun) berkata kepada Firaun dengan ucapan yang menyejukkan, mudah-mudahan dengan cara demikian ia menjadi sadar dan takut kepada-Ku?' (al-Quran, surat Thoha ayat 44).
Begitulah jawaban Harun al-Rasyid kepada ustadz yang menasihatinya. Ya, sebuah jawaban yang halus dan mengena. Kisah ini saya dapatkan dalam sebuah buku yang ditulis oleh salah satu ulama Mesir, yang diterbitkan oleh salah satu penerbit ternama di Lebanon.
Saudaraku, kita persis seperti ustadz itu. Kita nasihati dan ceramahi orang dengan kalimat-kalimat munafik, bid’ah, dan kufur. Kita katakan orang lain islamnya tidak kaffah (total), padahal makna kaffah belum tentu kita pahami dengan benar. Dari atas mimbar, kita caci orang yang tidak satu golongan, mazhab, ormas, atau partai dengan kita. Dari status atau catatan jejaring sosial, kita sentil orang dengan menampilkan diri kita sebagai Mr. Clean.
Subhanallah…
Perhatikanlah, Nabi Musa dan Harun saja diperintahkan oleh Allah untuk menasihati Firaun dengan tutur kata yang lembut. Kita tahu siapa Firaun. Dialah yang mengaku Tuhan. Namun, apa yang terjadi dengan kita? Kita nasihati orang lain dengan cara sebaliknya. Kita telanjangi orang lain. Kita puas manakala kita membongkar aibnya. Padahal, yang kita nasihati tidak lebih buruk dari Firaun, dan kita sendiri tidak ada apa-apanya dibanding Musa dan Harun.
Subhanallah, betapa arogannya diri kita…
Sesungguhnya musuh kita adalah kejahilan, bukan si jahil (orangnya). Oleh karena itu, nasihatilah si jahil atas dasar kecintaan kepada Allah, bukan atas dasar kedengkian dan kebencian, apalagi untuk menghinakannya. Manusia bukan malaikat. Manusia adalah makhluk yang senantiasa tergelincir dalam kesalahan. Bersikaplah santun, toleran, dan sejuk kepada orang lain, sambil Anda menyadari pula bahwa Anda juga berpotensi untuk tergelincir dalam kesalahan.
Jangan sedih manakala nasihat kita dianggap angin lalu. Jika kita sedih, itu tanda kita kurang ikhlas. Jangan kita terlampau bernafsu agar orang lain menjadi baik di tangan kita. Kita hanyalah penyampai (muballigh). Tidak lebih.
‘Engkau tidak akan mampu memberi hidayah (petunjuk) kepada orang yang engkau cintai, namun hanya Allah yang mampu memberi hidayah kepada siapapun yang Ia kehendaki. Allah tahu siapa yang mau menerima petunjuk’. (al-Quran, surat al-Qashash, ayat 56).
Percayalah, buat orang beriman, nasihat mendatangkan kebaikan
Ustadz itu berkata, ‘Wahai Harun al-Rasyid, selama ini Anda sudah melakukan begini dan begitu’. Ia menyebutkan keburukan-keburukan Harun al-Rasyid.
Setelah selesai mendengarkan perkataan ustadz itu, Harun al-Rasyid menjawab, ‘Duhai saudaraku, apakah Anda lebih baik dari Musa alayhissalam?’
Ustadz itu menjawab, ‘Tentu saja, tidak’.
Harun al-Rasyid kembali bertanya, ‘Apakah saya lebih jahat dari Firaun?’
Ustadz itu menjawab, ‘Tentu saja, tidak’.
Harun al-Rasyid berkata, ‘Kalau begitu, selama Anda tidak lebih mulia dibanding Musa alayhissalam dan saya tidak lebih jahat dibanding Firaun, maka tidakkah Anda perhatikan bahwa Allah swt berfirman kepada Musa, ‘Hendaknya kalian berdua (yakni Musa dan Harun) berkata kepada Firaun dengan ucapan yang menyejukkan, mudah-mudahan dengan cara demikian ia menjadi sadar dan takut kepada-Ku?' (al-Quran, surat Thoha ayat 44).
Begitulah jawaban Harun al-Rasyid kepada ustadz yang menasihatinya. Ya, sebuah jawaban yang halus dan mengena. Kisah ini saya dapatkan dalam sebuah buku yang ditulis oleh salah satu ulama Mesir, yang diterbitkan oleh salah satu penerbit ternama di Lebanon.
Saudaraku, kita persis seperti ustadz itu. Kita nasihati dan ceramahi orang dengan kalimat-kalimat munafik, bid’ah, dan kufur. Kita katakan orang lain islamnya tidak kaffah (total), padahal makna kaffah belum tentu kita pahami dengan benar. Dari atas mimbar, kita caci orang yang tidak satu golongan, mazhab, ormas, atau partai dengan kita. Dari status atau catatan jejaring sosial, kita sentil orang dengan menampilkan diri kita sebagai Mr. Clean.
Subhanallah…
Perhatikanlah, Nabi Musa dan Harun saja diperintahkan oleh Allah untuk menasihati Firaun dengan tutur kata yang lembut. Kita tahu siapa Firaun. Dialah yang mengaku Tuhan. Namun, apa yang terjadi dengan kita? Kita nasihati orang lain dengan cara sebaliknya. Kita telanjangi orang lain. Kita puas manakala kita membongkar aibnya. Padahal, yang kita nasihati tidak lebih buruk dari Firaun, dan kita sendiri tidak ada apa-apanya dibanding Musa dan Harun.
Subhanallah, betapa arogannya diri kita…
Sesungguhnya musuh kita adalah kejahilan, bukan si jahil (orangnya). Oleh karena itu, nasihatilah si jahil atas dasar kecintaan kepada Allah, bukan atas dasar kedengkian dan kebencian, apalagi untuk menghinakannya. Manusia bukan malaikat. Manusia adalah makhluk yang senantiasa tergelincir dalam kesalahan. Bersikaplah santun, toleran, dan sejuk kepada orang lain, sambil Anda menyadari pula bahwa Anda juga berpotensi untuk tergelincir dalam kesalahan.
Jangan sedih manakala nasihat kita dianggap angin lalu. Jika kita sedih, itu tanda kita kurang ikhlas. Jangan kita terlampau bernafsu agar orang lain menjadi baik di tangan kita. Kita hanyalah penyampai (muballigh). Tidak lebih.
‘Engkau tidak akan mampu memberi hidayah (petunjuk) kepada orang yang engkau cintai, namun hanya Allah yang mampu memberi hidayah kepada siapapun yang Ia kehendaki. Allah tahu siapa yang mau menerima petunjuk’. (al-Quran, surat al-Qashash, ayat 56).
Percayalah, buat orang beriman, nasihat mendatangkan kebaikan
0 komentar: